Senin, 23 Juni 2014

Pit Onta : Cerita dari Selatan Kota Jogja

Prakiraan cuaca memang sering tidak tepat akhir-akhir ini, padahal biasanya sangat tepat hingga ke prediksi tiap jamnya... Yah, namanya juga prakiraan, prakiraan meski dibuat manusia dengan pertimbangan dan pengamatan dari perlengkapan yg canggih tak akan bisa "menghalau" kehendak-Nya. Seperti juga hidup, kadang semua sudah tertata dengan rapi, terencana dengan baik, dan bayangan ke depan betapa indahnya karena jalan yang lapang teredia di sana, tapi kembali lagi kewajiban manusia adalah bedoa, berusaha, kemudian setelah segala daya dan upaya itu maksimal, maka yang bisa dilakukan adalah dengan berserah diri pada-Nya. Maka hidup itu selalu ada pilihan rasa yang berbeda, ada manis, pahit, asam juga asin... semua memberi warna tersendiri bagi diri kita, memberi polesan agar kita menjadi halus dan berbudi karena terbiasa diasah dalam berbagai keadaan.
Tugas kita bukanlah untuk berhasil. Tugas kita untuk mencoba, karena di dalam mencoba itu kita meneukan dan belajar membangun kesempatan untuk berhasil, begitulah kutipan penyemangat dari Buya Hamka ;)
Di antara kesendirian yang selalu menghampiri ketika siang tiba, teringatlah saya akan sebuah cerita di sebuah desa di belahan selatan Yogyakarta, di sana hiduplah kakek dan nenek yang bersahaja. Kehidupan yang baik mewarnai mereka dan menjaga mereka untuk tetap bersama, dalam suka dan duka hingga suatu ketika maut menjemput belahan jiwa nenek itu. Kini beliau tinggal sendiri, meski didekatnya ada anak, cucu, dan cicit mereka, tapi rasa kehilangan yang dalam membuat rambutnya lebih cepat memutih.
Di usianya yang mulai senja, lebih dari 80 tahun, nenek tetep rajin berjualan tempe, dengan berjalan kaki ke pasar, meski sudah "dilarang" anak cucunya tapi jawaban beliau selalu sama, "Arep ngopo nek mung gor tengak-tenguk pendak ndino? Ora Ana manfangate." (Untuk apa jika hanya duduk duduk sepanjang hari? Tidak akan ada manfaatnya). Ya sudahlah, mungkin begini cara beliau mengisi hari-harinya, mengusir segala kesunyian, dengan memberi manfaat bagi banyak orang, pergi ke pasar, menyambung silaturahim dengan bertemu dengan banyak orang, atau sekedar membelikan jajanan pasar untuk cucu-cicitnya dengan uang hasil jerih payah beliau sendiri, maka akan tumbuh menjadi daging dan tulang yang kokoh karena cinta dan doa dari orang yang tulus seperti neneknya, buyutnya ;)
Sabar lan sukur iku ilmu sing paling angel lakonane, Nanging sapa sing bisa nglakonine, Kamulyan ganjarane.
Selama hayat, kakek, "Pak Wo" tidak pernah mempunyai pekerjaan tetap, sesekali hanya menggarap sawah. Tulang punggung keluarga adalah nenek, "Mbok Wo" yang setiap hari berjualan daun pisang di Pasar Sentul di jantung kota Jogja "neng kuto (di kota)," kata Pak Wo. Setiap fajar selepas sholat subuh di masjid, Pak Wo mengantar Mbok Wo ke Pasar Sentul dengan pit onta, sepeda tuanya, menempuh jarak yang tidak dekat (butuh sekitar 25 menit dengan kendaraan bermotor sekarang). Berjualan daun pisang, dapatkah kau bayangkan hanya dari berjualan daun pisang dapur rumah bambu Mbok Wo bisa terus mengepul? Dengan keeanam anaknya yang masih balita dan hanya terpaut usia 1-2 tahun? Begitulah kuasa Allah, meski dalam segala keterbatasan, kadang makan kadang tidak, nasi jagung, nasi aking, dan segala macamnya adalah variasi menu yang tak pernah jauh dari keluarga itu. Kadang makan kadang tidak adalah suatu hal yang biasa ;) Suatu hal yang pasti dan harus kau percaya beliau berdua tidak pernah meninggalkan apa yang menjadi tiang agamanya, sholat, dan jujur meski beliau bukan orang yang berpunya, meski beliau tidak pernah bersekolah, meki beliau hanya seorang petani, pedangang di pasar, meski beliau buta aksara, tapi "Eling-elingono sopo sing bakal nemu kamulyan sesok, insyaalloh anak turunku amarga Gusti Allah maha pengasih".
Mbok Wo adalah anak kedua dari 5 bersaudara yang sudah terbiasa menjadi tulang puggung keluarga karena sejak kecil telah ditingal pergi kedua orang tuanya, maka mau tak mau beliau harus ikhlas menghidupi ketiga adiknya yang kala itu masih kanak-kanak bersama dengan kakaknya, hingga bertemulah beliau dengan Pak Wo yang hanya bekerja serabutan tapi dengan sabar mendampinginya hingga akhir hayat. Tak ada orang yang pernah menderita kemiskinan semiskin keluarga mereka kala itu, begitulah cerita banyak tetangga, hingga saking miskinnya banyak yang enggan jika dimintai bantuan karena masa mengembalikannya akan sangat lama. Dikata rumah seperti kandang sudah biasa, jangankan untuk memperbaiki rumah, mememenuhi kebutuhan sandang pangan saja begitu susahnya,namanya wong kere, masyaAlloh...
Selalu ada saja rencana Allah, putra pertamanya meninggal,tetanus, ketika usianya sekitar 12 tahun. Kata Mbok Wo, putra pertama inilah yang selalu menjadi tangan kanannya, maka bagaimanalah rasa ditinggal pergi putra terkasih? Putra ke dua, ketiga, dan keempat putus sekolah di tengah jalan, tidak dapat menyelesaikan pendidikan sekolah dasar karena keterbatasan biaya, begitu juga putranya yang keenam, hanya mampu mengenyam pendidikan hingga sekolah menengah saja. Hanya putra kelima yang mampu mengenyam pendidikan hingga perguruan tinggi karena merantau ikut orang ke kota, sejak sekolah menengah hingga kuliah bekerja serabutan menjadi kernet, dan penjaga warung untuk menyambung sekolahnya. Kini beliau menjadi guru sekolah dasar di kota Jogja, sepadan dengan usahanya yang bercita-cita mencerdaskan generasi muda karena ilmu adalah satu-satunya cara untuk memperbaiki hidup bukan? Putra keduanya menjadi kontraktor, sehingga bisa memperbaiki "rumah kandang" yang dulu bukan? Membangun rumah yang lebih layak untuk dihuni sehinggga tidak perlu berlarian ketika atap bocor, tidak perlu memakai sandal ketika di dalam, dan tak perlu bercampur dengan bau kotoran binatang ketika tinggal bukan? Putri ketiganya menjadi pengusaha katering, sehingga bisa tiap hari makan apa saja yang dulu tak pernah bisa dimakan bukan?, tidak perlu makan nasi jagung, nasi aking dan menahan lapar yang terus mengigit perut bukan? Putri keempat dan kelimanya menjadi penjahit, sehingga tiap hari bisa berganti baju bukan? tak harus memakai baju bekas tak layak pakai lagi kan? Putra-putrinya aktif menjadi pengurus muslimat NU dan mengirimkan anak-anak mereka untuk mengenyam pendidikan agama lebih dari orang pada umumnya, untuk nyantri di pesantren, berharap bisa melengkapi ilmu yang bermanfaat di dunia dan di akhirat :)
Ora ana pujian tanpa ujian. Ora ana mulyo tanpa pacoba. Ora ana sugih tanpa wani nggetih. Ora ana tentreming ati tanpa cedhak Gusti. (Tidak ada pujian tanpa ujian.Tidak ada kemuliaan tanpa cobaan.Tidak bisa menjadi kaya tanpa bekerja keras.Tidak ada tentramnya hati tanpa dekat dengan TuhanNya.)
Beginiah dengan mudah Allah memutar roda yang tadinya di bawah perlahan mulai naik ke atas? Keadaan berkebalikan dengan siap yang suka menghujat dan menghina, karena kita memetik apa yang kita tanam, kalau tidaklah bertemu pada diri kita buahnya dapat dirasakan oleh anak keturunan kita bukan? Cucu-cucunya adalah orang yang pertama kali mengenyam pendidikan di universitas negri ternama di kota Jogja di desa itu.
Putra keduanya mempunyai 4 orang anak, anak pertama menjadi kontraktor seperti ayahnya, anak yang kedua menjadi anggota TNI AD yang bertugas di Surabaya, putranya yang ketiga mengabdi di PMI kota Jogja, dan putrinya yang keempat menjadi guru SD.
Putri ketiganya mempunyai 3 orang putra, putra pertamanya bekerja di perusahaan milik jepang di Batam, putra keduanya menjadi guru di SMA Pleret, dan putra ketiganya menduduki jabatan fungsional di perusahaan Toyota di Jakarta.
Putri keempatnya mempunyai 2 orang anak, putri pertamanya memutuskan meninggalkan kuliah S2-nya untuk menemani suaminya yang sedang melanjutkan studi doktoralnya di Jepang bersama dengan kedua putrinya, karena kau harus lihat betapa keras suamimu berjuang (pissss... :p), putranya yang kedua menjadi pegawai Bank Indonesia kantor cabang Yogyakarta.
Putra kelimanya mempunyai seorang putra tunggal yang sekarang baru menempuh pendidikan sekolah menengah atas. Sedangkan putri keenamnya mempunyai 2 orang anak, putra sulungnya sedang menempuh S1 pendidikan guru teknik mesin di UNY, dan putri bungsunya masih di sekolah menengah pertama.
Begitulah sekedar cerita, kesuksesan dunia itu hanya pandangan manusia, harusnya setiap orang iri itu karena melihat ketaatan orang lain karena kesuksesan ibadahnya untuk bekal di akhirat ;)
Mlarat Sugih iku ukuraning manungsa, Bagus ayu mung WINATES ING KASAT MATA. Kabeh manungsa iku padha, Sing beda mung amal nyata. (Miskin Kaya itu hanya ukuran manusia.Wajah rupawan hanya terbatas dipandangan mata.Semua manusia itu sama.Yang membedakan cuma amal.)
*Cinta itu adalah#
Cinta itu adalah... Ketika kita selalu mengingat seseorang, tapi seseorang itu sama sekali tidak mengingat kita. Kita tetap selalu yakin atas cinta kita.
Cinta itu adalah... Ketika kita selalu menjadi yang pertama peduli, selalu menjadi orang terakhir yang menyerah. Meski seseorang tersebut tidak tahu. Kita tetap selalu yakin atas cinta kita. Tidak berkurang walau sejengkal.
Cinta itu adalah... ketika kita mengorbankan apapun milik kita. Tanpa berharap seseorang akan membalasnya. Kita tetap bersedia melakukannya. Tidak berkurang rasa cintanya.
Cinta itu adalah... Ketika kita selalu lirih menyebut namanya dalam doa. Meski seseorang itu sedang tidur, jauh, bahkan tidak menyadarinya. Kita tetap berharap yang terbaik. Tidak berkurang keyakinan kita.
Itulah cinta yang sejati. Tidak perlu jauh-jauh mencarinya. Cinta seperti ini ada pada Ibu kita.
Baca ulang sajak ini dari awal, sambil membayangkan Ibu-Bapak kita semoga paham hakikat cinta yang baik. (Tere Liye)

6 komentar:

  1. So sweet. Ceritanya membuat saya meleleh. Harus banyak belajar dari keluarga mbok Wo

    BalasHapus
    Balasan
    1. makasih mak Ika, ini cerita tentang nenek saya, kangen saya, sudah 1,5 tahun tak bertemu T,T

      Hapus
  2. liat foto ituu romantiiis :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. iya, jadi malu klo yang masih muda gak romantis, xixixxi.... kabuurrrr ;)

      Hapus
  3. Jazakaillahukhairan wa fiika barakallah, sudah mengingatkan begitu banyak nikmat yang terlupa.
    hikh3x

    BalasHapus